Skip to main content

Blog entry by Hasan Basri

Makkah dan Madinah: Rumah Kedua Bagi Hati yang Pernah Gelisah

Makkah dan Madinah: Rumah Kedua Bagi Hati yang Pernah Gelisah

Semuanya bermula dari rasa lelah — lelah dengan rutinitas, lelah dengan hiruk pikuk dunia, dan lelah mencari arti hidup yang terasa hilang. Itulah yang dirasakan oleh Farhan (26), seorang desainer grafis muda yang sehari-harinya hidup dengan tenggat proyek dan notifikasi tak berujung. Tapi semua berubah ketika sebuah video pendek tentang Haramain lewat di layar ponselnya.

Video itu menampilkan jamaah sedang berdoa di depan Ka'bah, dengan caption sederhana: “Tempat di mana semua hati akhirnya pulang.” Entah kenapa, Farhan terdiam lama. Ada sesuatu yang menggetarkan jiwanya. Saat itu juga, ia bertekad: “Aku harus ke sana.”

Langkah Awal: Panggilan yang Tak Bisa Ditolak

Persiapannya tak mudah — menabung, izin kerja, hingga menenangkan hati orang tua yang sempat khawatir. Tapi begitu pesawat mendarat di Bandara Prince Mohammad bin Abdulaziz, Madinah, semua rasa lelahnya terbayar. Dari balik jendela, ia melihat langit keemasan yang tenang, seolah menyambut dengan lembut. Di sinilah, di tanah penuh berkah itu, perjalanannya menuju Haramain benar-benar dimulai.

Madinah: Kota yang Mengajarkan Cinta Tanpa Syarat

Hari pertama di Madinah membuat Farhan terharu. Suasana di sekitar Masjid Nabawi begitu damai, bahkan langkah-langkah para jamaah terasa perlahan, seolah seluruh kota bergerak dengan ketenangan. Di dalam masjid, ia duduk lama di Raudhah — taman surga di dunia — sambil berzikir dengan air mata mengalir tanpa henti.

Ia merasa sangat dekat dengan Rasulullah ﷺ, seolah berada di hadapan sosok yang selama ini hanya ia dengar dalam kisah. Setiap doa yang terucap terasa ringan, setiap napas terasa penuh makna. Madinah mengajarinya satu hal: cinta sejati kepada Nabi bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan mengikuti akhlaknya.

Makkah: Di Mana Doa Tak Lagi Sekadar Kata

Beberapa hari kemudian, perjalanan berlanjut ke Makkah. Di dalam bus, semua jamaah tampak hening. Tapi begitu Ka'bah muncul dari kejauhan, suasana berubah. Ada tangis, ada tawa bahagia, dan ada rasa haru yang sulit digambarkan. Farhan sendiri tak sanggup menahan air mata.

Begitu berdiri di depan Ka'bah, ia hanya bisa menatap dan berbisik pelan, “Aku pulang, Ya Allah.”
Setiap langkah tawafnya terasa seperti perjalanan hidup — penuh liku, tapi selalu berujung pada harapan. Dalam setiap doa, ia meminta agar hatinya tak pernah jauh lagi dari Allah سبحانه وتعالى. Di Makkah, Farhan belajar bahwa tak ada tempat berlindung yang lebih damai daripada bersujud di depan Sang Pencipta.

Malam-malamnya ia habiskan di pelataran Masjidil Haram, duduk diam menatap Ka’bah yang diterangi cahaya lembut. Dalam diam itu, ia menemukan sesuatu yang selama ini hilang: ketenangan sejati di dalam Haramain.

Haramain di Mata Generasi Z

Farhan menyadari sesuatu — banyak teman sebayanya datang dengan kisah serupa. Ada yang baru kehilangan orang tua, ada yang tengah bingung mencari arah hidup, ada pula yang sekadar ingin “recharge” iman. Tapi semuanya sepakat: Haramain bukan sekadar destinasi ibadah, melainkan tempat penyembuhan batin.

Di tengah dunia yang serba cepat dan penuh tuntutan, Haramain menjadi jeda yang sempurna.
Bagi generasi muda seperti Farhan, tempat ini bukan hanya menghapus lelah, tapi juga menyalakan kembali cahaya iman yang sempat redup. “Kita semua cuma butuh waktu untuk berhenti sejenak dan ingat siapa diri kita sebenarnya,” ujarnya saat kembali dari Makkah.

Dua Kota, Seribu Kenangan

Kini, setelah kembali ke tanah air, Farhan masih sering membuka foto-foto perjalanannya. Ia rindu aroma tanah Madinah saat pagi hari, rindu suara azan di Masjidil Haram yang menggema ke seluruh penjuru kota. Tapi yang paling ia rindukan adalah rasa damai yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Ia sadar, perjalanan ke Haramain bukan sekadar perjalanan sekali seumur hidup — melainkan awal dari perjalanan spiritual yang tak akan pernah berakhir. Karena siapa pun yang pernah datang ke sana tahu, panggilan itu akan selalu hidup di dalam dada.

Bagi Farhan, Makkah dan Madinah bukan lagi dua kota di peta.
Mereka adalah rumah bagi jiwa-jiwa yang pernah gelisah, dan kini telah menemukan arah.
Dan bagi setiap hati yang masih mencari kedamaian, satu kalimat selalu bergema lembut:
“Datanglah ke Haramain, dan biarkan hatimu menemukan rumahnya.”


  • Share

Reviews